-->
Menu
/

CHAPTER 1
“No. It’s not the end. It’s the beginning..beginning of something new.”

                Banyak orang bilang padaku, masa SMA adalah masa-masa yang tak akan terlupa.  Tepat. Kini aku merasakannya. Berjuta kisah-kasih, canda, tawa, suka, duka terkemas di dalamnya. Berbagai konflik dan dilema turut berpadu menjadi satu. Atas nama persahabatan, cinta maupun solidaritas semata. Putih abu-abu. Satu masa berjuta cerita takkan terlupa.

 Lepas dari masa putih abu-abu bukan berarti akhir dari segalanya. Justru ini adalah sebuah permulaan. Awal dari dunia yang sebenarnya. 

Ini hanyalah sebuah kisah. Kisah tentang empat orang remaja yang sedang dalam perjalanannya mengungkap jati diri yang sebenarnya. Lengkap dengan rentetan peristiwa yang mengiringi mereka menuju gerbang kedewasaan. Meskipun yah, memang, mungkin cinta dan prahara lebih dominan mendominasi kata demi kata yang akan terungkap.

Akankah senyum ini selalu tercipta?

Akankah selalu manis yang disuguhkan di akhir cerita?

Tak ada yang tahu kemana sang takdir akan bermuara. Kita sebagai manusia hanya bisa melalui detik demi detik perjalanan kita di dunia sesuai dengan skenario sang Maha Kuasa.

******

“Hore....aku lulus! Thank’s for everything High School!”
-Renata-

            Ku langkahkan kakiku dengan penuh percaya diri. Melenggang bebas memasuki halaman sekolahku. Calon mantan sekolahku tepatnya. Yak, tidak sia-sia perjuanganku selama ini. Jungkir balik les sana-sini. Belajar dari buku ujian. Hingga pemantapan yang ku dapat di sekolah. 

Akhirnya penantianku terjawab sudah. Setelah semalam kurang lebih hingga pukul sebelas malam aku begadang demi melihat namaku yang muncul di daftar siswa-siswi yang lulus di web sekolahku. Alhamdulillah aku lulus dengan nilai memuaskan. Angka sembilan sudah kukantongi dengan aman. Senyum kebanggaanku pun tidak henti-henti aku persembahkankan. Seolah ingin membuat dunia ikut merasakan euforia kesenangan yang kini memenuhi rongga dadaku. 

            “Hey, selamat Ren. Ga cowok ga ceweknya sama-sama jadi peringkat satu sama dua ujian nasional. Envy berat nih sist.” Aku sedikit terkejut dengan ucapan Kanti. Siswi kelas sebelah. Tapi aku senang karena iya berjiwa besar dengan menjabat tanganku tanda ucapan selamat.

            “Ah...gue ga sabar nih ketemu yang lain.  Marvin, Mila, Dion where are you?” pekikku dalam hati sembari mataku tetap awas mengamati sekumpulan siswa-siswi yang tampak sengaja berkumpul di tengah lapangan basket.

            Hari ini. 5 juli 2011, seluruh siswa kelas dua belas memang sengaja berkumpul di lapangan sekolah. Merayakan kelulusan kami dengan berbagi tanda tangan tak lupa dengan aksi corat-coret seragam yang memang sudah kami rencanakan sebelumnya. Sedikit nakal memang. Tapi tak apalah, demi kenang-kenangan sekali seumur hidup.

*****

            Renaaaa....sini-sini cepet, kemana aja sih lo? Udah nyaris jam 9 loh. Tadinya 10 menit lagi lo ga dateng kita terpaksa mau ninggalin lo.”

            Itu suara si cempreng Mila. Ups, maafkan aku Mil. Hihihi. Setengah berlari aku menuju ke tempat Mila berada. Tak hanya Mila disana sudah stand by Dion dan Marvin kekasihku.

            Halo guyyys, maaf telat. Sorry sorry biasa tadi gue kesiangan.”
 
            Santai banget lo ngomong, pake nyengir segala lagi. Gatau apa kita bertiga udah lumutan.” Mila dengan gayanya yang ceplas-ceplos memarahiku sembari memutar kedua bola matanya.

            Sistaaa selamat yaaa. Peyuk sini peyuuk.” Setelah marah-marah bak emak-emak Mila pun menubrukku dana khirnya kamipun berpelukan. Berpelukan erat layaknya dipsy dan poo di serial teletubbies kesayanganku sewaktu di sekolah dasar.

            “Makasih mimiil. Lo juga ya. Nilai lo ga kalah bagus kok.” Jawabku sambil menggamit bahu Mila. Nilaiku dengan Mila memang hanya berjarak dua poin saja.

            “Iye,iye seneng sih seneng tapi gaberarti lo harus jadi jam karet gini dong ren. Karatan tau gak sih lo.” Mila pun menggembungkan pipinya tanda bahwa ia memang benar-benar kesal kepadaku.

            “Cut, cut. Acting lo ditolak. Hahaha. Ah elo ga cocok banget Mil marah-marah gitu. Yang ada gue bakalan ngakak setan nih liat ekspresi lo. Anyway yang lain mana? Tadi gue liat lo bertiga. Kenapa sekarang sendirian?” 

            “Tuh, mereka lagi ambil motor. Buruan yuk, entar kita telat lagi. Konvoinya bentar lagi mulai.” Mila pun menggandeng tanganku dan kami pun segera menuju parkiran. Menghampiri pujaan hati kami masing-masing.

****
            “Are you ready girls?” Teriak Marvin sembari mengencangkan cengkramannya pada gas satria kesayangannya.

            “Of course Hon.” Balas Rena tak kalah semangatnya dengan sang kekasih

            “Oke, kita cabut sekarang. C-mon guys!” Dion sebagai pimpinan konvoi kali ini segara menancapkan gasnya. Membelah hiruk pikuk keramaian kota yang nyaris tidak pernah mati ini. Kota yang penuh sesak dengan berbagai aktivitas penduduknya.

            “Yey, kita luluuuuuus.” Pekikan terakhir datang dari Mila sebelum mereka meninggalkan kompleks sekolah kebanggaan mereka turut serta menjadi pendahuluan sebelum doa-doa selamat mereka lantunkan demi keamanan dan keselamatan akan perjalanan mereka kali ini,.


            Terik matahari yang membara siang ini tak menghalangi hiruk pikuk kendaraan bermotor yang saling berkejaran sambil meneriakkan teriakan kelulusan mereka. 

“Buk, Pak, kami lulus!”

“Om, tante thankyou doanya. Kita lulusss”

“Enyak, Babeh...aye jadi kuliah”

“yes gue lulus, ayo kita kawin neng!”

            Begitulah beberapa potongan teriakan demi teriakan yang terdengar di penjuru kota Bogor. Terkesan asal namun memang menggelitik untuk di dengar. Rute yang mereka lewati dimulai dari sekolah menengah atas kebanggan mereka-GOR-air mancur-istana bogor-sempur-taman kencana hingga kembali ke sekolah mereka tercinta. Konvoi yang dilaksanakan dengan ramai tertib ini mendapat sambutan positif dari warga sekitar. Sungguh kenangan masa putih abu memang takkan terlupa.

            Arak-arakan kendaraan bermotor itu telah selesai setengah jam yang lalu. Namun tidak dengan keempat muda-mudi ini. Mereka memutuskan untuk tinggal beberapa saat di taman belakang yang tersembunyi di balik sekolah. Hembusan angin sepoi-sepoi menemani dua pasang kekasih ini. Selama beberapa saat hanya nyanyian pohon yang bergerak ditiup angin yang terdengar. Selebihnya hanya diam yang menemani mereka.

            “Guys, pokoknya kita harus tetep sama-sama ya. Sahabat tetep sahabat. Gue gamau kehilangan kalian. Kalian udah gue anggap keluarga gue sendiri.” Dion memulai pembicaraan di antara kami.

            “Pasti brother. Kita untuk selamanya. Jauh di mata dekat di hati bahasa mellownya mah.” Timpal Marvin di sertai dengan candaan khasnya

            “Betewe, kalian berencana nerusin kemana nih? Jujur aja gue masih bingung loh. Masih HHC juga nih nungguin snmptn undangan keluar.”

            “Yaampun Renaku sayang, selama hasilnya belum keluar yah nasib kita masih menggantung gini. Gue sih nikmatin dulu aja masa-masa kita free kaya gini. Let it flow beyb. Kapan lagi coba nganggur berbulan-bulan, iya ga?”
                                             
            “Mimiiiil, lah kamu sama Rena sih enak nah aku masih kalang kabut nih kesana kemari mencari alamat jeng-jeng. Maksud aku nyari univ yang pas. Tau sendiri kan nasib aku masih mengambang”. Celoteh Dion panjang lebar sambil memikirkan nasibnya kelak.

            “Udah-udah. Kita berdoa aja semoga apapun hasilnya itu yang terbaik buat kita. Dimanapun kita, yang penting kita ngejalaninnya dengan ikhlas dan penuh senyuman. Ga ada yang namanya lo lo pada merasa terpaksa. Kalo elo yon itu kan salah lo siapa suruh klemaren-kemaren malah ngurusin kejuaraan basket. Calm bro, lo udah ada tempat yang udah di sediain sama Yang Di Atas”

            Seperti biasa, Marvin tukang lawak nan bijaksana itu mampu membuat benang kusut dari obrolan mereka yang berkepanjangan itu menjadi sebuah titik akhir yang jelas. Itulah hidup. Harus balance. Ada kalanya kita bisa menjadi pribadi yang serius, namun ada kalanya menjadi pencair suasana memang pilihan yang tepat.

            “Hidup Marvin, Marvin udah dewasa. Aih, gue terharu. Ren, yayang lo udah gede.”

            “Dion...awas lo kena sama gue.” 

Pada akhirnya terjadilah kejar-kejaran khas anak TK antara Dion dan Marvin. Saling berlarian lepas layaknya bocah taman kanak-kanak yang sedang memperebutkan mainannya. Sementara di bangku taman di bawah pohon rindang , Rena dan Mila menyaksikan kelakuan kekasih mareka dengan gelak tawa yang tak berkesudahan.

            Candaan Dion yang usil nan norak akhirnya menjadi penutup kisah mereka sore ini. Seiring lembayung senja yang menandakan hari semakin sore, mengisyaratkan bahwa sang mentari harus kembali ke peraduannya, membuat gelak tawa yang mereka suguhkan hari ini harus diakhiri sejenak. Setidaknya cukup untuk hari ini.

****

“Gue harus ngomong. Harus!.”
-Marvin-

            “I love today.” Dengan satu gerakan cepat Marvin menghempaskan tubuh tinggi tegapnya di atas kasur kesayangannya. Bibir merahnya tak henti-henti melengkungkan senyumnya tanda betapa bahagianya ia hari ini. 

Dengan predikat sebagai peringkat pertama ujian nasional satu sekolah, menghabiskan waktu dengan kekasih dan sahabat tercinta, serta konvoi keliling kota turut menjadi faktor utama pemuda berwajah tampan ini tak henti-hentinya melengkungkan senyumnya.

Hari  ini gue ngerasa bebas, capek, tapi seru. Gue ngerasa seneng banget-banget sekaligus sedih yang mendalam. Manusia memang aneh kan? Bisa merasakan dua rasa yang bertolak belakang dalam waktu yang bersamaan. Jujur aja gue belum siap melepas masa SMA gue. Belum siap melepas semuanya. Terlebih pisah sama peri kecil gue.

            Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Gue ga munafik, gue tau kok waktu itu bakalan dateng. Tapi kenapa secepat ini Tuhan? Rasanya baru kemaren gue di MOS, jadi anak baru, baru ngerasain jadi putih abu-abuers. Ga kerasa sekarang gue udah lulus aja. Huh, waktu emang ga pernah menunggu. Terus berjalan tanpa sedikitpun mengizinkan manusia untuk beristiraharat sejenak.

            “You can Vin! Gimanapun caranya lo harus bisa ngomong sama Rena. Mending sakit di awal darpada sakit akhirnya. Oke, mending sekarang gue tidur deh.” Tak bitih waktu lama untuk Marvin memjamkan matanya.

            Langit malam turut serta menemani sang pemuda. Mengantarkannya untuk sejenak memejamkan mata. Beristirahat sejenak sebelum menghadapi esok yang tentu saja lebih menantangnya. Membuai sang pemuda dengan udara sejuk yang semakin membuatnya nyaman dan makin terlelap.


****

Cuplikan next part :

Ini bukan tentang sebuah pengkhianatan
Bukan pula tentang sebuah rasa yang tengah memudar
Ini tentang sebuah mimpi, harapan dan cita-cita

Maukah engkau berkorban demi orang yang kau cintai?

****

Yang ku mau hanya dirimu. Tapi tak begini keadaannya.
Yang ku mau selalu denganmu.....

Tarraaa, finish for today. Segini dulu part 1 nya. Maaf kalo ada yg typo. Monggo-monggo di tunggu komen dan sarannya:)
#muchlove iffahsari musyrifah <3

anyway HHC = Harap- harap cemas :D

2 comments:

  1. waaahhhhh iffaaaahhhhh kamu bakat banget jadi novelis. ini kaya novel2 yg sering gua baca loh gaya ceritanya. keep writing yah cantik. gua mau baca lanjutannya :D

    ReplyDelete
  2. siaaaap mamiih :* thankyou udh baca+komen emuaaaaaaaaaaah

    ReplyDelete

Thankyou for visiting my blog. Let's connect & be a friend:D

Cheers,
Ifa

Powered by Blogger.